Persoalan alih daya (outsourcing) masih terjadi tarik
menarik (dilema) kepentingan antara para pekerja/buruh dengan pihak
pengusaha. Pihak pekerja menghendaki agar sistem outsourcing dihapuskan
karena dianggap tidak memberikan kepastian masa depan pekerja.
Bukti pekerja menghendaki sistem outsoucing dihapus, adalah dengan diajukannya uji materi (judicial review) ke
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana register permohonan No.
12/PUU-I/2003 dengan materi yang dimohonankan untuk di uji yakni
ketentuan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 (UU
Ketenagakerjaan) yang mengatur masalah alih daya.Namun MK menolak
seluruh permohonan, dengan pertimbangan bahwa sistem outsourcing bukan
merupakan perbudakan modern (modern slavery).
Upaya
pekerja untuk menghapus sistem outsourcing dan kerja kontrak kemudian
dilanjutkan lagi dengan mengajukan permohonan serupa kepada MK
sebagaimana tertuang dalam register perkara No. 27/PUU-IX/2011 dengan
materi yang diujikan yakni Pasal 59, Pasal
64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Namun MK lagi-lagi
menolak dan tetaap pada pendirian bahwa sistem outsourcing tidak
bertentangan dengan UUD tahun 1945. Dari seluruh permohonan, hanya
sebagian yang dikabulkan yakni ketentuan ayat (7) Pasal 65 dan ayat (2)
huruf b Pasal 66.
Dengan
demikian, pengusaha masih tetap dibolehkan mengalihkan atau memborongkan
pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui sistem outsoucing, atau
dengan kata lain sistem outsourcing tetap sah dilaksanakan. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan hukum MK yang menyatakan, bahwa "penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan
usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.
Bagi
pengusaha, sistem alih daya dapat menjadi salah satu upaya
penyederhanaan manajemen ketenagkerjaan yang berimplikasi pada
penghematan biaya perusahaan, karena akan terhindar dari pembayaran
pesangon bila pekerja diberhentikan sebagaimana jika dalam ikatan
pekerja tetap, serta implikasi lainnya dalam lingkup ketenagakerjaan
seperti terlepas dari kewajiban untuk melaksanakan perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) dengan batasan maksimal 2 (dua) tahun dengan masa
perpanjangan 1 (satu) tahun. (vide Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan)
Sebagaimana telah disinggung di atas, secara yuridis formal masalah outsourcing diatur dalam Pasal
64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan jo Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 (Permeneakertrans 19/2012) tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.
Dalam Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans 19/2012, memberi batasan tegas bahwa tenaga outsourcing tidak boleh digunakan untuk pekerjaan utama (core business) atau kegiatan langsung yang berhubungan dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Mengacu pada ketentuan hukum di atas, sesungguhnya pekerjaan yang bisa dialihdayakan oleh peraturan perundangan diberi batasan-batasan atau dengan kata lain tidak semua bidang pekerjaan dapat dialihdayakan.
Lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (3) Permenakertrans 19/2012 dinyatakan bahwa, kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning services)
b. usaha pelayanan kebersihan (cleaning services)
c. usaha tenaga pengamanan/satpam (security)
d. usaha jasa penunjang di pertambangan/perminyakan, dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja atau buruh.
Namun dalam praktek, trendnya menunjukan, pekerjaan outsourcing melebar hingga ke berbagai posisi pokok atau pekerjaan utama (core business). Hal ini, menurut penulis, bisa terjadi salah satunya karena tidak adanya sanksi administrasi maupun sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga besar potensi terjadinya pelanggaran.
Hal lain penyebabnya adala masih belum terangnya klasifika antara bidang pekerjaan yang masuk ke dalam pekerjaan utama (core busienss) atau pekerjaan penunjang (non core busienss), karena kedua jenis pekerjaan tersebut berjalan sangat dinamis dan belum adanya patokan baku.
Pemerintahpun tampaknya hanya berusaha menjadi penyeimbang, karena adanya tuntutan dari dunia usaha. Investasi asing maupun lokal, cenderung menerapkan sistem outsourcing karena alasan sebagaiman tersebut di atas, yakni penyederhanaan manajemen dan efisiensi. Selain itu, sistem outsourcing ini juga dipraktekan di negara lain baik di negara maju maupun negara berkembang.
Di sisi lain, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak-hak pekerja yang sangat asasi, mengingat masalah ketenagakerjaan sangat berkaitan pula dengan hak hidup dan kesejahteraan yang jamin undang-undang dasar yang bila diabaikan dapat berimplikasi pada gejolak ekonomi maupun politik.
Sumber:
. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
. Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
lain
. Putusan MK No.
12/PUU-I/2003
. Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar