Kamis, 28 Agustus 2014

DILEMA SISTEM ALIH DAYA (OUTSOURCING)

Persoalan alih daya (outsourcing) masih terjadi tarik menarik (dilema) kepentingan antara para pekerja/buruh dengan pihak pengusaha. Pihak pekerja menghendaki agar sistem outsourcing dihapuskan karena dianggap tidak memberikan kepastian masa depan pekerja. 

Bukti pekerja menghendaki sistem outsoucing dihapus, adalah dengan diajukannya uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana register permohonan No. 12/PUU-I/2003 dengan materi yang dimohonankan untuk di uji yakni ketentuan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) yang mengatur masalah alih daya.Namun MK menolak seluruh permohonan, dengan pertimbangan bahwa sistem outsourcing bukan merupakan perbudakan modern (modern slavery).


Upaya pekerja untuk menghapus sistem outsourcing dan kerja kontrak kemudian dilanjutkan lagi dengan mengajukan permohonan serupa kepada MK  sebagaimana tertuang dalam register perkara No. 27/PUU-IX/2011 dengan materi yang diujikan yakni Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Namun MK lagi-lagi menolak dan tetaap pada pendirian bahwa sistem outsourcing tidak bertentangan dengan UUD tahun 1945. Dari seluruh permohonan, hanya sebagian yang dikabulkan yakni ketentuan ayat (7) Pasal 65 dan ayat (2) huruf b Pasal 66. 

Dengan demikian, pengusaha masih tetap dibolehkan mengalihkan atau memborongkan pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui sistem outsoucing, atau dengan kata lain sistem outsourcing tetap sah dilaksanakan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan hukum MK yang menyatakan, bahwa "penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.

Bagi pengusaha, sistem alih daya dapat menjadi salah satu upaya penyederhanaan manajemen ketenagkerjaan yang berimplikasi pada penghematan biaya perusahaan, karena akan terhindar dari pembayaran pesangon bila pekerja diberhentikan sebagaimana jika dalam ikatan pekerja tetap, serta implikasi lainnya dalam lingkup ketenagakerjaan seperti terlepas dari kewajiban untuk melaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dengan batasan maksimal 2 (dua) tahun dengan masa perpanjangan 1 (satu) tahun. (vide Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan)

Sebagaimana telah disinggung di atas, secara yuridis formal masalah outsourcing diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan jo Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 (Permeneakertrans 19/2012) tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain. 

Dalam Pasal 65 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans 19/2012, memberi batasan tegas bahwa tenaga outsourcing tidak boleh digunakan untuk pekerjaan utama (core business) atau kegiatan langsung yang berhubungan dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Mengacu pada ketentuan hukum di atas, sesungguhnya pekerjaan yang bisa dialihdayakan oleh peraturan perundangan diberi batasan-batasan atau dengan kata lain tidak semua bidang pekerjaan dapat dialihdayakan. 

Lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (3) Permenakertrans 19/2012 dinyatakan bahwa, kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning services)
b. usaha pelayanan kebersihan (cleaning services)
c. usaha tenaga pengamanan/satpam (security)
d. usaha jasa penunjang di pertambangan/perminyakan, dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja atau buruh. 

Namun dalam praktek, trendnya menunjukan, pekerjaan outsourcing melebar hingga ke berbagai posisi pokok atau pekerjaan utama (core business). Hal ini, menurut penulis,  bisa terjadi salah satunya karena tidak adanya sanksi administrasi maupun sanksi pidana dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga besar potensi terjadinya pelanggaran. 

Hal lain penyebabnya adala masih belum terangnya klasifika antara bidang pekerjaan yang masuk ke dalam pekerjaan utama (core busienss) atau pekerjaan penunjang (non core busienss), karena kedua jenis pekerjaan tersebut berjalan sangat dinamis dan belum adanya patokan baku. 

Pemerintahpun tampaknya hanya berusaha menjadi penyeimbang, karena adanya tuntutan dari dunia usaha. Investasi asing maupun lokal, cenderung menerapkan sistem outsourcing karena alasan sebagaiman tersebut di atas, yakni penyederhanaan manajemen dan efisiensi. Selain itu, sistem outsourcing ini juga dipraktekan di negara lain baik di negara maju maupun negara berkembang.  

Di sisi lain, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak-hak pekerja yang sangat asasi, mengingat masalah ketenagakerjaan sangat berkaitan pula dengan hak hidup dan kesejahteraan yang jamin undang-undang dasar  yang bila diabaikan dapat berimplikasi pada gejolak ekonomi maupun politik.

Sumber

. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
. Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat   
  Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
  lain
. Putusan MK No. 12/PUU-I/2003  
. Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar