Minggu, 17 Oktober 2010

OBROLAN IMAJINATIF SEPUTAR HUKUM, HAKIM DAN HUKUMAN

Pada suatu malam minggu di bulan September yang baru lalu, di sebuah rumah kosong yang sedang ditinggal pemiliknya yang terletak di sebuah gang daerah berpenduduk padat, berkumpul empat orang anak muda satu diantaranya seorang mahasiswa fakultas hukum negeri ternama, satu penyadap karet, satu pemain sepak bola amatir dan satu pemain sulap serta satu orang purnawirawan kepolisian yang pernah mendaftar untuk jadi pimpinan KPK  tapi tidak lolos dalam verifikasi administratif.

Pembicaraan mereka cukup panas, karena selain menghujat beberapa petinggi yang cuma pintar omong tapi ngga becus kerja, tentang mendadak batalnya kunjungan kenegaran pak SBY ke Belanda yang menghebohkan itu, tentang banyaknya artis yang nyalonin jadi bupati, gubernur, anggota dewan, mereka juga omong tentang teroris, kriminalisasi pimpinan KPK, putusan penon-aktifan  Jaska Agung oleh MK, pembakaran kereta api, mutilasi, bencana Wasior, sampai cuaca ekstrim yang akhir-akhir ini sedang melanda beberapa daerah di negeri ini. Diantara mereka, ada yang berpendapat bahwa semua kejadian yang tampak janggal dan carut marut ini saling kait mengkait dan merupakan tanda-tanda akhir zaman. Wah…terlalu jauh.

Menjelang dini hari, topik mereka beralih, percakapan mulai ringan dan diselingi  ketawa ketiwi.  Suasana benar-benar sudah mencair, dan bila suatu pertanyaan meluncur, satu sama lain tidak ada yang memberikan jawaban yang sebenarnya melainkan dengan pelesetan-pelesetan yang menggelikan.

Kini giliran si mahasiswa fakultas hukum yang bertanya, dan tentu saja pertanyaanya seputar disiplin ilmunya. “Saya punya suatu pertanyaan, tolong bapak dan teman-teman berikan arti, makna ataupun definisinya sesuai latar belakang bapak dan teman-teman atas pertanyaan berikut ini. Apa itu Hukum, Hakim dan Hukuman?".

Setelah satu sama lain saling melempar siapa yang akan menjawab duluan, maka ketiga anak muda itu menodong  pak Purnawirawan untuk menjawab duluan, kerena selain masalah senioritas juga beliau cukup kenyang malang melintang dalam dunia hukum.

PURNAWIRAWAN POLISI
Begini, sepanjang yang bapak  pelajari di bangku pendidikan, waktu bapak dines dulu, definisi hukum hingga saat ini belum dan tidak akan pernah seragam, meskipun substansinya hampir sama. Pengertian hukum sangat tergantung pada faktor ruang, waktu,  tempat dan kepentingan, jadi artinya bisa beda-beda dan bahkan bisa rubah-rubah. Ibarat setir mobil gitu loh, bisa dibelokan ke kiri, ke kanan atau diputar seratus delapan puluh derajat, anda-anda fahamlah maksud saya. Kalau Hakim, mereka itu mitra kami, seperti halnya jaksa dan pengacara, meski kadang juga bersebrangan ketika ada “hakim nakal” dilaporkan korbannya ke kami, dan sebaliknya ketika ada kolega kami yang “tersandung masalah” di pengadilan seperti halnya pak Susno.  Sedang kalau hukuman, ini yang selalu saya pertahankan obyektifitasnya berdasar hukum. Saya sangat bersemangat untuk membuktikan sebaliknya dengan tudingan bahwa polisi suka mempersulit yang mudah, dan tambah mempesulit yang sulit. Hukum (hukuman) harus ditegakan dan setiap perbuatan ada ganjarannya atau harus dihukum sesuai dengan perbuatannya, karena itulah maka ada disparitas pidana.  Ini sekedar tambahan saja, kenapa kalau ada hakim yang dilaporkan ke polisi bapak sebut dalam tanda kutip hakim nakal, sedang kalau ada polisi di proses pidana bapak katakan tersandung masalah, itulah yang namanya bela korp. Ha…ha…  dan semua itu dilakukan oleh instansi lainnya.

PENYADAP KERET
Buat saya, hukum itu sama dengan karet, elastis banget. Bisa ditarik-tarik (baca: bisa diperdebatkan, bisa ditarik ulur), bisa menjepret (bisa memenjarakan orang), bisa buat ngiket (mempunyai kekuatan mengikat). Sedang kalau hakim ialah orang yang memutuskan  anaknya nginap di hotel prodeo selama tiga taun untuk suatu perbuatan yang menurut saya tidak dilakukannya, dan kalau hukuman yaitu ketika tangan saya dipukuli rotan oleh guru ngaji (kakeknya) waktu kecil dulu karena saya lumayan bandel. 

PEMAIN SEPAKBOLA AMATIR
Wah kalau saya sebagai pemain dan penggemar berat sepak bola, pendapat saya beda walau agak mirip-mirip. Dalam pandangan saya, kalau melihat fenomena dan kejadian faktual yang banyak terjadi di lapangan, hukum itu bisa diibaratkan sama dengan bola, bisa disundul-sundul (baca: di junjung tinggi, dihormati), digiring-giring (dibelokan ke kanan-ke kiri), ditendang-tendang (dilanggar walau sudah tau ancaman hukumannya) dan dikangkangi (penyelundupan hukum). Jadi pendek kata, definisi hukum amat bergantung pada siapa yang berkepentingan atas-nya. Sedang kalau hakim yang saya tau, ya cuma hakim garis dan wasit, merekalah yang paling saya segani. Dan untuk hukuman, ya kalau pemain diganjar kartu kuning atau kartu merah karena bikin pelanggaran di lapangan, itupun kalau terlihat oleh hakim garis dan wasit.

PEMAIN SULAP
Menurutku singkat saja, hukum itu ya permainan sulap, pat gulipat abra kadabra. Dan salah satu pemain sulap yang lumayan mahir ya hakim, yang bisa bikin hotel jadi penjara atau sebaliknya, yang bulet bisa jadi lonjong, dan yang salah bisa bener atau sebaliknya. Dan hukuman, ya kebohongan yang didapat penonton pertunnjukan sulap, kok mau-maunya diboongin Pesulap.

Akhirnya, karena malam semakin larut, Pak Purnawirawan pamit duluan, kemudian disusul si Pemain Sepakbola Amatir dan setelah merasa tak lengkap lagi akhirnya mereka yang tersisajuga membubarkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar